Dua Telinga dan Satu Mulut

Perjalanan belum dimulai, namun seorang lelaki paruh baya yang duduk di samping saya langsung menyapa saya dengan hangat. Dimulai dengan perkenalan dan saling menanyakan aktivitas masing-masing, kami memulai percakapan. Awalnya percakapan berjalan dua arah, namun nampaknya lelaki paruh baya itu memang senang bercerita. Banyak yang ia ceritakan, mulai dari kegiatannya sehari-hari sampai menuju pembicaraan yang cukup berat mengenai prinsip-prinsip hidup yang ia pegang. Lama-kelamaan alur percakapan menjadi satu arah, yaitu dari lelaki itu ke saya. Saya lebih banyak jadi pendengar dan berusaha menjadi pendengar yang baik dengan memperhatikan dan menanggapi ceritanya walau terkadang terasa membosankan. Untungnya saya ingat perkataan seorang teman saya bahwa dengan mendengar kita akan mendapatkan banyak informasi dengan catatan kita benar-benar mendengarkan, tidak sekadar mengiyakan. Memang tak jarang ceritanya susah untuk dimengerti karena alurnya yang tidak urut sehingga terasa membosankan. Namun lelaki itu terus bercerita dengan antusias. 

Mengapa ia terus bersemangat sedangkan saya sudah seperti kehabisan tenaga untuk mendengarkan? Jawabannya adalah karena manusia cenderung tertarik pada cerita tentang dirinya sendiri. Anda pasti pernah mengalaminya misalnya saat pulang dari liburan, masing-masing akan berebut menceritakan mengenai liburannya dan tak jarang cerita dari temannya tidak ada yang masuk di kepala. Inilah salah satu sifat alami manusia. Apakah hal ini negatif? Tentu saja tidak jika kita menanggapinya dengan cara yang tepat. Bahkan kita dapat menggunakannya sebagai cara agar kita disukai oleh orang lain yaitu dengan cara mendengar yang baik. Tapi hal ini terkadang sulit dan memerlukan latihan. Kita mempunyai dua telinga dan satu mulut, itu artinya kita seharusnya lebih banyak mendengar daripada berbicara. Namun apa dikata, karena mulut terletak di depan, tak jarang kita lebih banyak bicara daripada mendengar.

0 tanggapan:

Posting Komentar